Belajar dari Pengalaman Sudarto Djuku, Guru Sekaligus Petani Cabai Di Kabupaten Muna
Daun perdu di kiri kanan jalan tampak masih basah. Pun, jalan pengerasan yang kami lalui itu becek dan licin. Tapi hal itu tak menyurutkan semangat untuk menebus rasa penasaran terhadap kebun cabai yang foto panoramanya pernah ramai diposting di group media sosial Facebook.
Mengenakan baju singlet dan celana pendek, Sudarto mengajak saya melihat kebun cabainya mengendarai motor. Jaraknya kurang lebih 2 kilometer dari jalan utama Kecamatan Watopute.
Oleh warga, tempat kebun cabai itu disebut Molo. Sebuah dataran tinggi yang selama ini dijadikan tempat warga bercocok tanam jagung dan kacang tanah.
Selain jagung dan kacang tanah, komoditas tak kalah menjanjikan untuk ditanam di relung kaki bukit karts itu adalah cabai rawit.
Hal itu yang mendorong Sudarto Djuku membuka lahan seluas setengah hektare ditanami cabai.
Baginya, cabai merupakan bahan pangan paling laku di pasaran. Tak pernah kehilangan peminatnya. Saban hari, kalangan rumah tangga dan rumah makan membutuhkan bumbu penyedap rasa itu.
“Dulu, warga di sini heran dengan saya. Orang sudah panen jagung, saya baru naik membersihkan lahan,” kata Sudarto membuka kisahnya menanam cabai, Senin 24 November 2020.
Sudarto mulai merintis kebun cabai ini pada 2019 lalu. Ilalang dan perdu yang tumbuh liar di lahannya mulai dibersihkan seluas setengah hektare.
Ilalang itu kemudian dikeringkan yang selanjutnya dijadikan pupuk alami. Lahan yang sudah land clearing, dibentuk petakan bedeng.
Sistem pengairan moderen juga ikut disiapkan. Mesin khusus menarik dan menyaring air dari penampungan tadah hujan lalu ditampung di tandon berukuran 1000 liter yang ditempatkan di atas bukit.
Selanjutnya, tandon itu disambung dengan pipa yang telah dirakit mengelilingi bedeng. Di setiap sudut memiliki keran.
“Ini mi yang kasi mahal biaya sebenarnya. Karena di Watopute ini tidak bisa kita gali sumur. Kalau tidak hujan, terpaksa beli air untuk mengairi cabai ini,” kata pria kelahiran 8 Juni 1977 ini.
Di kebunnya itu, lanjut Sudarto, hanya cabai yang ditanam dengan tiga jenis berbeda. Cabai kristal, lokal dan cakra.
Untuk bibit kristal dan cakra dibeli di toko tani. Sementara cabai lokal, diperoleh dari kebunnya yang tumbuh liar.
Kalkulasi Guru Matematika
Pria yang akrab disapa Darto ini adalah seorang guru matematika di SMA Negeri 2 Raha.
Berlatar belakang guru aljabar, hitungan untung rugi mengambil tindakan sudah dipikir secara matang. Bertani cabai jadi pilihan dibanding jagung yang terbilang menyejarah di masyarakat Muna.
Di lahan seluas setengah hektare itu, ditanami 5 ribu pohon cabai dengan jarak masing-masing 60 sentimeter. Setiap pohon bisa memproduksi 1 kilogram. Jika panen serentak, bisa menghasilkan 5 ton. Namun hal itu sulit dipenuhi karena
“Karena musim panas, cabai yang dihasilkan lebih sedikit. Kadang hanya setengah kilo saja untuk satu pohon,” imbuhnya.
Meski hanya setengah kilo, namun ia anggap tidak terlalu rugi. Sebab, harga cabai sekilo untuk jenis cakra Rp15 ribu. Sementara jenis lokal Rp18 ribu dan kristal jauh lebih mahal antara Rp20 ribu sampai Rp25 ribu.
Jika hanya diambil harga paling rendah Rp15 ribu perkilo untuk satu ton saja, sudah bisa memperoleh Rp15 juta. Bagaimana jika sampai 5 ton misalnya? Sebuah keuntungan yang menggiurkan bisa sampai Rp60 juta.
Untung berapa puluh juta dari modal yang dikeluarkan di awal sekitar Rp40 jutaan.
Kalkulasi keuntungan ini bisa lebih besar lagi jika setengah hektare lainnya yang sudah ditanami mulai berbuah dan siap dipanen satu bulan ke depan.
Darto bilang, kebutuhan cabai di pasaran hampir sulit tercukupi. Terutama rumah makan dan pasar. Untuk itu, bertani cabai tidak perlu takut akan kerugian. Sebab, perawatan cabai tidak terlalu merepotkan. Setiap hari pun bisa panen.
Ia juga sadar bahwa sejatinya guru tidak hanya menjadi pencerah untuk generasi di bangku sekolah, lebih dari itu menjadi contoh yang baik di masyarakat lewat terobosan dan inovasi sektor pertanian.
Lahirkan Lapangan Pekerjaan
Darto sebenarnya sudah punya modal gaji sebagai ASN untuk sekadar bisa menafkahi istrinya dan memenuhi kebutuhannya dalam sebulan. Namun, bekerja sampingan bukan sekadar untuk mendapatkan tambahan pundi-pundi lebih. Jauh dari pada itu, ia ingin menyalurkan hobi dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga di kampungnya.
Sebelum merambah di dunia pertanian, Darto telah memiliki pekerjaan sampingan bekerja meubel.
Di halaman belakang rumahnya berdiri usaha pembuatan lemari kayu, kursi, meja, pintu dan kosen pintu dan jendela.
Di usaha meubel ini ia mempekerjakan pemuda di kampungnya yang belum memiliki pekerjaan tetap. Begitu pula di kebun cabainya. Seluruh pekerja mendapatkan upah agar bisa menghidupi keluarganya.
Ia menyebut, banyak tanah kosong di Bumi Sowite yang perlu diolah. Sama seperti manusia, tanah juga butuh dimakmurkan.
Memakmurkan tanah di Muna dengan kontur tanah karts, sudah pasti butuh tenaga anak muda.
Ia berharap, cara pandang petani di Muna bisa lebih maju. Minimal tidak, paradigma lama diubah oleh kalangan muda demi masa depan yang lebih cerah.
Kata-kata motivasi terlihat jelas di papan pondoknya ; Visi Tanpa Aksi adalah Mimpi dan Aksi Tanpa Visi adalah Mimpi Buruk.
La Ode Pandi Sartiman
0 Response to "Belajar dari Pengalaman Sudarto Djuku, Guru Sekaligus Petani Cabai Di Kabupaten Muna"
Post a Comment